PADA MULANYA MEMANG SEPI, SENDIRI
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_72aFWJZv0b7bI0zepCBGnbRaOtf3-r1y40Q7n_S5DfYY-P1I2EamGoQ-caKGMGbjBmXaiwBG6NO6t7RTTPmg5iwblHr1QMsRwlqIDy5MJ_sjlILaEtjLW1KqCU1XGyTrEUbpnxjJ7vQ/s320/sepi.jpg)
Di Thaif yang pahit, RasuluLlah merasakan betul sakitnya tersendirikan.
Alangkah sepinya. Saat-saat mencekam itu. Terasing. diusir dengan kasar.
Hanya ditemani pembantu setia, Zaid bin Haritsah. Dnia seperti tak
menyisakan orang-orang ramah. Seluruh penduduk dusun itu megaraknya.
Perempuan, anak-anak, dan para budah bersorak riuh. Mereka melempari batu.
Kakinya berdarah. Meleleh melurumuri terompahnya.
Tiga tokoh yang ditemuinya hanya saling mencibir. Jangankan mau beriman.
Menolak sapaan dengan sopan saja tidak. "Apakah Allah tidak mendapatkan
orang selain dirimu," ejek salah seorang dari mereka pada akhirnya.
Segera RasuluLlah beranjak. Di tengah perjalanan pulang ia menepi. Ia
mengadukan semua duka itu pada Allah. Dalam untaian do'a yang sangat
terkenal.
Tak berlebihan, bila RasuluLlah, kelak berkisah pada istri tercintanya,
Aisyah, bahwa dibanding kesedihan di Uhud yang berdarah-darah, kesendirian
di Thaif jauh lebih mengiris.
Berusaha menjadi baik, berproses menjadi baik, dalam konteks pribadi, di
jalan Islam yang diridloi Allah, memang sebuah pilihan hidup yang
menyendirikan. Begitu pula mengajak orang lain meniti jalan yang baik,
mengusung ajaran Islam, di atas perjuangan da'wah pada lingkup apa pun. Itu
adalah kesepian yang berlipat dan kesendirian di atas kesendirian. Paling
tidak pada mulanya. Lalu untuk waktu yang sangat lama.